Ruam Merah





Separuh topengnya menawarkan rasa asin keringat buruh pabrik, Meredi mengayuh sepedanya menyusuri puing-puing bekas kecelakaan tadi siang. Sesekali ia membenarkan posisi topengnya yang setengah miring-setengah turun. Ya, Meredi memakai dua topeng sekaligus. Satu berwajah kelelahan seri buruh pabrik nomer 247 dan satu lagi berwajah bijak tersenyum--seri pemuda lajang duapuluhan. Di stang sepedanya, ada sebungkus pamrih yang ia beli di supermarket sebelah pabriknya. Sebungkus pamrih yang ingin dibagi dengan adiknya di rumah.




Angin mereda seiring gelap menjelang di depan mata Meredi. Sepersepuluh jam lagi dia sampai di kampungnya--Kampung Ketopengan Barat. Di kampung itu terdapat kurang lebih lima puluh topeng keluarga, dihitung untuk satu rumah mewakili satu topeng keluarga. Setelah rumah kelima sehabis gapura kampungnya, Meredi turun dari sepeda. Dituntunnya sepeda masuk ke halaman kecil rumahnya. Sesekali Meredi melihat tumpukan serutan kayu dikubangan segi empat disamping rumah. Dalam hatinya, Meredi menebak adiknya membuat topeng lagi. Entah topeng keberapa.




Setelah menaruh sepeda di samping pintu rumah, Meredi memanggil adiknya, Alinta. Alinta satu-satunya keluarga Meredi yang tinggal di rumah itu.




“Alinta”
“Ya, mas Medi..sebentar” Alinta memakai topeng barunya,
“Baru lagi?” sambut Meredi sambil membuka bungkusan pamrih dan menaruhnya diatas meja.
“Iya mas baru lagi..Wah, pamrih rasa apalagi yang kamu bawa mas Medi?”
“Rasa pecel lele bumbu terasi…Makanlah Lin..”
Alinta menurut. Dimakannya pamrih itu dengan lahap.
Meredi menghempaskan tubuhnya diatas balai-balai sambil sesekali mengamati topeng baru adiknya. Sekilas topeng itu dingin,datar tak berparas. Kemudian makin lama paras ibu dan bapak Meredi menghias topeng itu bergantian. Sebatang rokok menyala di tangan Meredi. Dilepasnya topeng buruh lelahnya. Ditaruhnya di gantungan topeng dilemari sebelah balai-balai. Ada puluhan topeng berjajar disana. Ada yang berparas kuli panggul pasar, satpam pusat perbelanjaan, tukang pijat, salesman, tukang patri sampai maling ayam kampung. Ada salah satu topeng berbungkus kain hitam.




***

Larut menyergap. Alinta tertidur di meja. Meredi membereskan remah-remah pamrih dan membungkusnya kembali dengan kantung plastik. Ke kubangan samping rumah kantung plastik itu berakhir. Alinta dibopong masuk ke kamar. Dibelainya rambut Alinta. Dan pelan-pelan Meredi melepas topeng diwajah adiknya. Meredi meradang. Ditatapnya dalam-dalam wajah adiknya tanpa topeng. Putih sekali tanpa dosa.




***



Udara lewat tengah malam tersibak laju sepeda Meredi. Pemukiman elit di tengah kota tampak kontras sekali dengan sepeda tua Meredi. Meredi menuju ke sebuah rumah milik pejabat dewan partai topengkayu. Sesekali Meredi memastikan topengnya yang sedikit kekecilan itu. Ditaruhnya sepeda di tanah kosong belakang pemukiman elit tersebut. Tanpa kesulitan berarti, Meredi melompati pintu gerbang rumah pejabat tadi.  Dengan mulus ia mendarat diatas mobil mewah pejabat tersebut. Topeng satpam penjaga rumah tergantung dijendela pos. Satpam sudah tidur.



Pelan dan pasti, Meredi masuk lewat lubang kunci. Dengan lincah dan serapalan mantra Meredi sudah berada di ruang tamu. Aroma pendingin ruangan begitu pekat. Ah, pejabat ini terlalu dimanja udara buatan rupanya, batin Meredi. Dengan sekejap, Meredi telah sampai dipintu kamar si pejabat. Suara desahan samar-samar keluar masuk telinga Meredi. Dikeluarkannya sebilah benci bercampur logam dari balik sarungnya. Tanpa suara pintu terbuka, dan dengan cepat Meredi menghunjamkan benci dan logamnya ke dada si pejabat. Setelah puas, Meredi baru sadar, pejabat tadi tidur sambil menonton film biru. Dan di kamar itu Meredi melihat ratusan topeng. Ada yang berparas jujur, adil, sampai berparas bapak baik-baik nan alim. Meredi pun keluar dari kamar pejabat itu. Ada ruam merah dipelipis topengnya yang tak ia sadari.



Setelah kembali melompat pintu gerbang rumah si pejabat, Meredi mengambil sepedanya dan mengayuh dengan santai. Sesekali dihisapnya dalam-dalam rokoknya. Meredi puas bukan kepalang. Ingin sekali ia rayakan malam itu dengan caranya sendiri. Tapi batinnya mengatakan besok saja merayakannya. Meredi menyusuri jalan kembali menuju Kampung Ketopengan Barat. Dan Meredi-pun berkejaran dengan fajar di timur.



***


Pagi ini penduduk Kampung Ketopengan Barat menggelar Sajen Topeng Tahunan. Di hari ini, seluruh warga kampung melepas topeng mereka. Dan kepala kampung mengumpulkan topeng-topeng yang dianggap tidak membawa keberuntungan, yang membuat resah, dan yang sedih untuk dikumpulkan dan dibakar dalam sebuah upacara adat. Meredi dan Alinta tidak ikut membakar topeng, bagi keduanya topeng-topeng mereka adalah bagian hidup mereka. Bisa dilepas dan diganti namun tak bisa dimusnahkan begitu saja.


Dalam perjalanan pulang seusai Upacara Sajen Topeng Tahunan, Alinta berkata kepada kakaknya diatas sepeda.



“Mas Medi, ruam merah dipelipismu segar sekali”
“Nanti tiba waktumu Lin.” Meredi menimpali adiknya sambil tersenyum.


Sepeda Meredi pelan menyusuri jalan menuju kota. Alinta menggendong ransel berisi pakaian secukupnya dan koleksi topeng-topengnya dan kakaknya. Dipinggang Meredi tersemat beberapa lembar pamrih dari malaikat. Kakak beradik itu menghilang disebuah belokan sehabis gapura kampung. Selang beberapa saat Kampung Ketopengan Barat habis dilalap api. Tidak ada korban selamat.



_________________________________________________________
Bandung, 1-2 Desember 2010