Mbah Ali

Sore itu masih meregang basah ketika sepertiga jalan beraspal itu berakhir dan menarikku kesebuah rumah sederhana di ujung desa. Tersebutlah Mbah Ali, sang empunya rumah. Sambil membereskan iratan bambu yang berserakan dimana-mana, mbah Ali menyuruhku masuk. Aku mengambil tempat duduk di sebuahamben. Disitu ada Kitab dan bilah-bilah bambu dua jengkal yang belum di-irat dan sebuah pisau semi-golok yang menkilat sekali. Aroma bambu jawa tua, menambah suasana yang menyegarkan selepas hujan dan sesekali letusan kayu yang sedikit basah dari tungku mbah Ali. Mbah Ali bertanya kabar Bapak dan Ibuku di rumah. Aku pun berkata keduanya baik-baik saja dirumah, langsung aku menjelaskan kedatanganku ke rumah beliau.
"Saya ingin membuat pyan, mbah. Bagusnya pakai iratan biasa atau pake gedheg tapi lebih besar sedikitiratannya, mbah?"
"Anu mas, pyan kalau musim hujan gini, mbah susah njemureLha wong itu mbah bikin ga selesai-selesai. Yo mending pake gedheg dari pring iwulung aja mas, itukan banyak dikebun. Nanti di vernish."
"Wah ya sudah mbah, saya manut. Nanti ke rumah saja kalau mau ambil bambu, biar saya yang ngantermbah. Maturnuwun."
Akupun melangkah keluar. Daun pintu kayu waru yang sudah kusam berderik halus saat kudorong pelan. Mbah Ali ikut keluar, sambil meyalakan rokok klembak menyannya yang sedari tadi ditaruh di lipatan kopiahnya. Hujan mulai turun, menangisi polosnya hidup di pelosok desa seperti kami. Mungkin.
***
Esok harinya, Mbah Ali datang kerumahku. Dengan celana hitam sebetis dan kaos putih tak lupa kopiah andalan yang sudah mulai kehijauan di bagian depannya. Akupun telah siap dan baru sadar golokku sama sekali tidak tajam. Mbah Ali tersenyum dan berkata " Sudah mas, pakai yang saya saja. ". Berangkatlah kami ke sebelah barat lapangan voli di kampung kami. Ada 80-an batang bambu wulung kalau aku tidak salah menaksir. Mbah Ali memberikan contoh bagaimana menebang bambu dan memilih bambu yang sudah tua supaya nanti tidak menyusut. Akhirnya dengan sekuat tenaga dan gatal dimana-mana akibat lugut bambu, terkumpulah 6 bambu wulung seukuran lengan orang dewasa. Satu persatu kami gotong menuju rumah mbah Ali yang kira-kira satu kilometer dari kebun bambu.
Dua jam kemudian, bambu wulung tadi sudah menjadi potongan-potongan sepanjang empat meteran. Siap untuk dibelah menjadi bilah-bilah penyusun langit-langit. Tapi apa daya, nampaknya tubuh mudaku masih kalah jauh dengan nafas klembak milik mbah Ali dan akupun undur diri. Dua kali nambah nasi agaknya menjadi pengganti tenaga yang hilang hari ini. Dan akupun sukses terkapar di jubin rumah.
***
Sepulang sekolah, aku bergegas menuju tempat mbah Ali. Dan terkejutlah aku, pyan itu udah jadi, hanya butuh dirapikan dan diberi bingkai kemudian dipelitur. Mbah Ali menawariku segelas teh tawar dingin. Aku masih terkagum-kagum.
"Mas, semua yang besar itu dimulai dari sebesar ini." mbah Ali menunjukan iratan bambu sehelai.
"Iya mbah, tapi kan kadang-kadang yang kecil itu disepelekan dan dibuang percuma."
"Hehe, untung disini ndak ada besar kecil, mbah dan mas liat pyan ini juga satu kesatuan utuh, bukan satu persatu iratan."
"Iya sih mbah..hehe" sambil kuhabiskan teh tawarku.
Langsung kuambil kaleng pelitur dan thinner dari tasku. Aku membelinya sepulang sekolah dan tak lupa bikin janji dengan bapak ketemuan di toko besi.
"Wah, lupa beli kuas mbah."
"Udah mas, besok meliturnya, biar kering dan meregang. Sabar. Semua udah ada waktunya, kapan dan bagaimana yang diatas yang ngatur."
"Siap mbah, ini pelitur sama thinner aku taruh di sini saja. Aku pamit dulu ya mbah. Besok mampir lagi bawa kuas."
"Njih mas, hati-hati."
***
Dan, berapa hari kemudian. Pyan telah terpasang rapi di atas surau kampung kami, tepat menutup kolom diantara empat tiang utamanya. Motif sederhana menghias anyaman. Bau pelitur masih samar-samar tercium. Aku membawa teh, gula pasir dan beras serta bingkisan dari bapak menuju rumah mbah Ali. Samar-samar terdengar beliau sedang mengaji ketika aku hendak mengetuk pintunya. Namun beliau sudah tahu rupanya.
"Masuk mas, ndak dikunci kok."
"Assalamualaikum mbah, ini ada bingkisan dari bapak dan ibu. Diterima ya mbah."
"Ealah cah bagus, iya, matursuwun buat bapak dan ibumu. Itu pelitur dan thinner kamu bawa pulang. Masih banyak sisanya."
"Nggak mbah, kata bapak buat mbah aja. hehe"
***
Sudah sepuluh tahun berlalu. Mbah Ali mungkin sedang menghisap klembaknya disana. Ya diantara rumpun bambu wulung terselip cerita di tiap lugut dan cumpringnya. Kelak anak-anak kita tak sudi bermaincumpring dan lebih memilih di depan layar kaca. Mungkin.
________________________________________
racau malam untuk (alm) mbah ali pager. makasih mbah. :)
istilah-istilah nanya di komen saja. haha. malas ngetiknya. :)