Pukul Tujuh Malam Aku Pulang



Dedaunan kering tersibak lebar berjatuhan kasar dibelakang bisku yang terlalu cepat melaju. Melewati aspal penuh tambalan dan para petani yang pulang dikejar senja. Bis yang kutumpangi masih kuat berlari kencang walaupun usianya sudah renta dan beberapa kaca jendelanya sudah pecah entah kenapa. Dari kaca itu, aku menghitung tapal-tapal jalan yang tingginya tak sama berlarian berlawanan dengan lajuku. Kampungku sudah tak kelihatan ketika kutengok kebelakang. Tenggelam dikerubuti gelap yang samar-samar. Disampingku ada ibu-ibu yang sedang merapikan bawaannya. Ada kardus dua dan keranjang satu.Kutebak pasti dia mau berangkat. Ya berangkat, tidak pulang. Berangkat mencari berkat, mengisinya penuh-penuh lalu entah kapan kembali lagi ke rumahnya.

Lepas pukul sepuluh malam, bis masih menderu maju sementara aku membuka mata. Menelusuri satu persatu raut-raut wajah penumpang yang makin larut dalam tidurnya masing-masing. Menunduk pasrah berharap pulang sebelum sampai. Aku sendirian terjaga. Kemudian terlena pada lampu-lampu mobil yang berkilauan menelisik dari barisan kursi-kursi bus yang kutumpangi. Tenang menyenangkan. Dan tapal-tapal jalan yang berlarian pun sudah lupa kuhitung lagi.

Bisku tersentak tiba-tiba. Kaca-kaca berterbangan. Beberapa menusuki mataku yang terbelalak. Silau oleh cahaya yang begitu terang. Bunyi berdentum dan para penumpang yang sontak serentak berteriak. Kesadaranku jatuh hilang disela-sela pecahan kaca dan barang bawaan yang berserak. Nyaris sunyi senyap tak ada suara. Yang tersisa adalah bau amis yang semerbak. 

Paginya, sebagian besar penumpang telah pulang. Ada yang dijemput oleh keluarga. Ada yang lewat berita saja lalu hilang. Tinggal aku dan supir bus yang masih tinggal. Kami berbicara di sela-sela kapas dan botol-botol alkohol setengah kosong. Mengemasi cemas kami yang mulai sirna bersama lalu lalang kendaraan dan sirine.

Aku mendahului sopir bus. Aku pulang ke kota. Bersama para mantri bermasker yang tiga hari belum mandi. Pulang ke kota sebelum berangkat lagi ke kampungku sana. Menunggu kedatangan lengan tanganku yang masih tersangkut di pohon dan mataku yang masih belum juga terpejam menatap ke arah matahari terbenam. 

Aku pulang tepat pukul tujuh malam.