Euphoria Revolusi



Dari semenanjung Afrika hingga Occupy Wallstreet di Amerika. Pelan dan pasti euphoria revolusi membahana ke penjuru dunia. Namun mengutip Goenawan Mohammad, revolusi tak bisa difotokopi-revolusi tak bisa dipesan. Ya, sesuatu yang sangat mustahil ketika pemaksaan sebuah revolusi terjadi Global Uprising, secara sporadis kita ingin mengkopinya. Dengan pemakaian istilah kita bisa me-retweet revolusi ke penjuru timeline. Mungkin kita bisa membidani lahirnya revolusi di media internet, namun hanya sebagai sebuah tren, yang mungkin saja tergeser dengan maraknya konser Justin Bieber atau anggota sidang yang menonton film porno. Terdengar pesimis memang, tapi agaknya kita harus sedikit melihat lebih panjang pra-revolusi di semenanjung afrika dan arab sana. Tidak serta merta menjadikan revolusi sebagai tujuan akhir yang dipaksakan. Sporadis di media massa, internet maupun dengan semena-mena memaksakan ide-ide kepada tukang becak bukan merupakan jalan keluar.


Proses. Kata yang belum akrab di telinga bangsa ini. Carut marut birokrasi, tayangan tak bermutu serta belum ada cap “keren”, “asyik”, “gaul” atau “hip” untuk kebiasaan membaca dan menulis. Sehingga pola yang terbiasa disediakan dan mengkonsumsi hal yang instan menjadi budaya. Proses menjadi kabur maknanya. Ketika revolusi di Libya, Mesir dan baru-baru ini Occupy Wallstreet di Amerika sana, maka hal yang paling logis terjadi dalam sebuah sistem budaya instan, mengkopinya dan berharap berhasil. Maka tak sedikit beberapa kawan yang terjebak dalam sebuah depresi tingkat dewa. Depresi karena euphoria mereka tidak tersalurkan. Ejakulasi tanpa isi, onani intelektual. Kosong. Memaksa mereka meracau tak jelas. Dan membahana meneriakkan revolusi dimana-mana.


Dan beberapa yang lain justru sibuk dengan lingkung yang dari dulu mereka bangun. Terlampau nyaman bermimpi menjadi yang paling depan ketika revolusi terjadi. Mengabaikan sekitar dan terus menerus memasak sebuah bahan yang mereka sebut revolusi  ala mereka. Entah puritan, entah moderat atau entah yang menjadi warisan generasi sebelum mereka.


Terlepas dari semua yang saya sebut meracau, terlena dan terkungkung, saya optimis memandang itu semua sebagai sebuah proses. Setidaknya ada harapan mereka bisa mempelajari sedikit-banyak apa yang terjadi di luar sana. Bagaimana strategi dan langkah-langkah aksi. Terlepas diterapkannya seperti apa.


Dan bagi kita yang belum melakukan apa-apa, ada baiknya kita segera bergegas dan berkemas. Buang jauh-jauh rasa nasionalis-fasis yang cuma memberi candu. Candu yang memaksa kita membuang muka terhadap kesenjangan sosial dan keserakahan negara. Batas wilayah atau negara sudah tak berarti lagi. Yang kita hadapi di depan bukanlah seonggok aparatur negara yang masih saja sibuk mengkalkulasi uang hanya untuk buang hajat. Yang kita hadapi adalah kapitalis multi-nasional. Musuh kita sama dengan kawan-kawan kita di London, Barcelona, New York atau bahkan di pedalaman Meksiko sana.


Baiknya kita mulai dengan apa yang kita punya dan apa yang kita temui di sekitar kita. Masihkah kita merasa enggan untuk berbicara dengan pemungut sampah harian yang membersihkan sampah di tempat sampah kita? Hanya untuk sekedar bertegur sapa, menghilangkan batas yang sering kita sebut sebagai kelas. Tak ada gunanya kita memaki anak-anak tak mampu sekolah di stasiun-stasiun atau terminal. Jika kita masih merasa sebagai orang yang lebih dan kelasnya berbeda. Karena secara tidak langsung kita juga yang membuat mereka menjadi tidak terpelajar. Kita mendukung sistem yang telah menjadikan siapa yang mempunyai uang atau modal menjadi raja, sisanya menjadi budak.


Revolusi diri. Mulai membaca dan memilah informasi. Sedikit demi sedikit hapuskan kelas dan mulailah membangun hubungan yang baik. Pergunakanlah akses media yang bisa kita dapatkan dan bagilah kepada mereka yang tidak bisa mendapatkan akses itu. Tulislah opini kalian tentang apapun dan belajar bagaimana menghargai pendapat orang lain. Ya, sebuah proses yang panjang diperlukan untuk mendapatkan sesuatu yang padat dan tidak hanya sementara.


Mungkin sebagian kita bertanya-tanya, ketika kita sudah sampai ke dalam tahap dimana sebuah gerakan sudah didepan mata, bagaimana kita merealisasikan ke dalam sebuah aksi? Saya akan mengutip sebuah jawaban dari Naomi Klein, “You're giving the people courage. You're telling them they're not alone and they're not crazy. You're giving them a space to find one another. But this is not group therapy -- we also want to change the world. This movement has to create democratic structures. It just can't happen overnight, but I beg you not to fetishize not having a structure. We made that mistake, and it destroyed our movement.". Ya, bahkan seorang Naomi Klein berpendapat kalau sebuah revolusi tidak terjadi dalam satu malam. Semua dibangun dari sebuah struktur yang mantap. Struktur yang tidak bisa dipisahkan dari sebuah proses.


Silahkan mencaci, mencibir dan mengatakan tulisan ini sebagai sebuah omong kosong yang mengada-ada dan berlagak paling pintar. Dan silahkan tuliskan opini kalian sendiri tentang apa yang sebaiknya kita lakukan untuk mencapai apa yang sekarang ini menjadi tren, revolusi.



”Manusia memang membuat sejarah,” demikian kata-kata Marx yang terkenal dari tahun 1851, ”tapi di bawah kondisi yang bukan dipilihnya sendiri.”